MANUSIA DAN AGAMA


MAKNA AGAMA

Agama dalam bahasa Arab disebut al-din yang menunjukkan arti balasan atau ketaatan. Sedangkan secara teknis, al-din berarti iman kepada pencipta manusia dan alam semesta serta kepada hukum praktis yang sesuai dengan keimanan tersebut.[1] Dari defenisi ini ada dua hal penting dalam susunan agama yaitu sisi teoritis (kepercayaan, keyakinan) yang lebih populer di kenal dengan akidah, dan sisi praktis (perbuatan, amal saleh) yang lebih sering disebut dengan syariah. Dan dalam tertib keagamaan, sisi teoritis mendahului yang praktis, keyakinan mendahului perbuatan, atau akidah mendahului syariah. Artinya, yakin dulu akan keberadaan Tuhan, baru kita buisa menyembahnya. Karna tertib ini, maka akidah menjadi ushul al-din (pokok agama), sedangkan syariah menjadi furu’ al-din (cabang agama). Dan pada kesempatan ini, penulis hanya akan mengulas persoalan ushul al-din.

SUMBER JIWA BERAGAMA

Beragam pandangan telah diutarakan oleh para ahli tentang sumber jiwa keberagamaan pada mansuia. Ada yang meninjaunya dari sisi sosiologi, filosofis, dan juga psikologi. Pada dasarnya, secara umum pandangan ini bermuara pada dua pendapat. Pertama, pendapat yang meyakini bahwa agama bersumber dari sistem eksternal (luar diri) manusia. Artinya, manusia bukanlah makhluk yang pada dasarnya beragama. Kedua, pendapat yang meyakini bahwa manusia adalah makhluk religius yang mana agama sebenarnya bersumber dari sistem internal diri manusia itu sendiri. Kedua pandangan ini akan diuraikan di bawah ini.

Pendapat Pertama:

Manusia Makhluk Non Religius

Bagi sebagian ahli, anak diibaratkan sebagai kertas kosong (tabularasa) yang tidak memiliki pembawaan apapun termasuk jiwa religius. Mereka memandang manusia sebagai bentuk, bukan secara kejiwaan,[2] dan kalangan ilmuan ini menganggap bahwa manusia pada awalnya tidaklah beragama. Keberagamaan timbul dikarenakan kondisi dan situasi yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupannya di dunia ini. Nico Syukur Dister menjelaskan empat motif yang menjadi penyebab kelakuan beragama manusia, yaitu :

  1. Untuk mengatasi frustrasi
  2. Untuk menjaga kesusilaan serta tata tertib masyarakat
  3. Untuk memuaskan intelek yang ingin tahu
  4. Untuk mengatasi ketakutan.[3]

Keempat motif ini menunjukkan bahwa agama bukanlah hal yang asasi dalam diri dan kehidupan manusia, tetapi hanya merupakan suatu yang fungsional dan pragmatis, yang menekankan segi egoistis (ananiyah) manusia yang ingin menjadikan agama sebagai alat bagi kepentingannya sendiri.[4]

Adapun bahan dasar bagi keberagamaan individu adalah pengalaman beragama dan keinginan beragama. Pengalaman beragama merupakan pengalaman mengenai hal-hal yang di dunia ini sebagai tanda yang mengarahkan pada wujud Yang Maha Lain, Yang Transenden, atau yang lebih dikenal dengan Tuhan. Ini adalah pengalaman yang elementer dan fundamental, serta sebagiannya bersifat intuisi, afeksi dan emosi.

Sedangkan keinginan beragama merupakan bahan yang perlu disusun dan diintegrasikan ke dalam kepribadian manusia, agar orang yang bersangkutan mampu bersikap religius. Ini merupakan wujud dari motivasi psikologis untuk beragama. Proses-proses psikologis macam ini ada sangkut pautnya dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu yang ditimbulkan dalam diri manusia oleh situasi dan kondisi tertentu, baik situasi religius maupun tidak. Hanya saja situasi dan kondisi yang tidak religius itu, tetap ditanggapi manusia secara religius. Misalnya  keempat motif di atas (situasi frustrasi, menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat, pemuasan intelektual, ketakutan) yang secara esensial tidak berhubungan dengan situasi dan kondisi religius, namun dianggap melahirkan sikap beragama.[5] Pandangan-pandangan seperti ini dapat kita lihat dari tulisan-tulisan yang diajukan oleh Sigmund Frued, Karl Marx, Emile Durkheim, Williem James, dan lainnya.

Bagi Sigmund Freud (1856-1939), agama dipandangnya sebagai gangguan pikiran atau obsesi (obsession), sebagai pemenuhan keinginan masa kanak-kanak yang terhambat (fiksasi), dan juga sebagai khayalan (illusion).[6] Sebagai bentuk penyaluran keinginan, agama tak lebih hanya sekedar pemuasan dari libido (nafsu) yang terhambat. Libido merupakan energi seksual yang mesti disalurkan agar mendatangkan apa yang disebut Freud dengan istilah lust (kenikmatan). Ketegangan libido dan penyalurannya berlangsung secara terus menerus yang disebut dengan istilah lustprinzip (asas kelezatan atau mencari nikmat), yang mana jika tidak tersalurkan atau terhambat pemuasan penyalurannya, maka akan mendatangkan ketidaksenangan, kekecewaan dan frustrasi pada diri individu.[7] Teori ini diperkuat Freud dengan mengedepankan kasus Oedipus Complex yang menyukai ibunya, namun terhambat karena keberadaan ayahnya, akhirnya ia membunuh ayahnya demi menyalurkan libidonya yang terpendam. Namun perbuatan itu mendatangkan penyesalan yang pada puncaknya terjadi penyembahan kepada ayahnya itu. Inilah awal dari munculnya agama.[8]

Keadaan frustrasi inilah yang mengarahkan manusia pada sublimasi yaitu merubah energi seksualnya kepada dimensi lain yang bisa memuaskan atau mengurangi tingkat frustrasinya. Perubahan energi seksual ini dapat mengarah pada dimensi atau energi rasional dan rohani yang kemudian menjadi dasar munculnya agama.

Adapun Emile Durkheim, ia lebih menekankan agama sebagai sistem sosial yang diciptakan masyarakat. Dengan tegas ia menulis :

“ …agama merupakan sesuatu yang benar-benar bersifat sosial. Representasi-representasi religius adalah representasi-representasi kolektif yang mengungkapkan realitas-realitas kolektif; ritus-ritus merupakan bentuk tindakan (a way of acting) yang hanya lahir di tengah-tengah kelompok-kelompok manusia dan tujuannya adalah untuk melahirkan, mempertahankan atau menciptakan kembali keadaan-keadaan mental (mental states) tertentu dari kelompok-kelompok itu. Tapi jika kategori-kategori merupakan asal mula religius, maka mereka harus terdapat dan ikut serta di dalam apa-apa yang menjadi umum bagi setiap agama. Kategori-kategori ini juga harus menjadi sesuatu yang bersifat sosial, menjadi produk dari pemikiran-pemikiran kolektif.”[9]

Untaian kalimat di atas dengan jelas menjadikan agama sebagai ciptaan manusia yang berkoloni. Agama yang mereka ciptakan itu sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan kehidupan yang mereka alami bersama dalam kelompok atau masyarakatnya.

Jika kita cermati dengan seksama, motif dan teori munculnya agama tersebut di atas jelas tidak memiliki kekukuhan dan keutuhan argumentasi. Secara sederhana kita dapat mengajukan pertanyaan, jika motif-motif tersebutlah sebagai penyebab munculnya jiwa keberagamaan, namun mengapa setelah motif-motif tersebut hilang atau dapat terlaksana, jiwa keberagamaan masih tetap bersinar di dalam diri manusia dan bertahan hingga kini?

Sejarah telah membuktikan bahwa para pejuang agama awalnya bukanlah orang-orang frustrasi, bodoh dan pengecut, akan tetapi mereka adalah utusan-utusan Tuhan yang sukses, cerdas, dan pemberani. Jika agama produk kebodohan, mengapa banyak para ilmuwan yang sangat religius? Sebaliknya, banyak ditemukan manusia-manusia penakut dan bodoh yang hidup tanpa agama dan tidak meyakini Tuhan. Selain itu saat ini, dalam kondisi yang nyaman, masyarakat yang tertata, canggih dan hidup dalam tingkat pengetahuan tertinggi, namun agama tetap menjadi kebutuhan yang tidak dapat dilepaskan. Bahkan, ditemukan kasus-kasus serius di Negara yang maju dan berperadaban, orang-orang yang menjauh dari agama akan merasa teralienasi (asing).

Pendapat Kedua :

Manusia Makhluk Religius

Jika sebelumnya diuraikan bahwa agama bersumber dari luar diri manusia yang diperoleh dari lingkungan dan kondisi serta situasi yang melingkupinya. Maka pada pembahasan ini akan menguraikan bahwa jiwa keberagamaan secara asasi, instinktif dan intrinsik telah tertanam dalam diri manusia.

Banyak ahli yang menyatakan bahwa anak dilahirkan telah membawa jiwa keagamaan, dan baru berfungsi kemudian setelah melalui bimbingan dan latihan sesuai dengan tahap perkembangan jiwanya. Will Durant dengan tegas menyatakan bahwa agama merupakan suatu perkara yang alamiah, lahir secara lansung dari kebutuhan dan perasaan instinktif kita (Religion is a natural matter, born directly of our instinctive needs and feelings).[10] Adapun Alexis Carrel menulis, ‘perasaan beragama (mistic) terpancar dalam diri manusia sebagai insting dasar. Manusia, lanjutnya, sebagaimana ia membutuhkan air bagi kehidupan, begitu pula ia membutuhkan Tuhan (The mistic sense is the stirring deep within us of a basic instinct. Man, just as he needs water, solikewise needs God).[11]

Pandangan bahwa jiwa keberagamaan pada manusia telah tertanam sejak awal didukung oleh banyak penelitian ilmiah mutakhir. Penelitian-penelitian ini banyak mengedepankan otak sebagai objek yang diteliti dengan menggunakan analisa ilmu nuorologi. R. Josep mengemukakan hal ini sebagai berikut :

“Pernah dikemukakan bahwa Tuhan sudah mati dan bahwa spiritualitas adalah candu bagi rakyat. Tetapi, sekarang sudah ditemukan dasar ilmiah, neurologis, dan genetik untuk kepercayaan agama, spiritualitas dan gejala paranormal, termasuk pengalaman tentang dewa, setan, arwah, nyawa, dan kehidupan setelah kematian. Ada bagian tertentu dari otak yang menjadi sangat aktif ketika bermimpi selama dalam keadaan trans (trance), meditasi, sembahyang atau karena pengaruh LSD, dan yang memungkinkan kita untuk mengalami wilayah realitas Tuhan, arwah, jin, dan kehidupan setelah kematian.”[12]

Perkembangan psikologi belakangan ini, telah mengembangkan suatu bentuk penelitian tentang otak dan kecerdasan manusia. Danah Zohar dan Ian Marshal, telah mengemukakan berbagai penelitian para neorolog yang konsentrasi pada penelitian secara empirik dimensi otak manusia. Dari studi ilmiah mereka, kecerdasan tidak lagi hanya sebatas intelektual (IQ), tetapi juga kecerdasan emosional (EQ), serta kecerdasan spiritual (SQ). Untuk kecerdasan yang terakhir, para ilmuan telah mengajukan bukti-bukti ilmiah yang valid, dengan kajian dan penelitian neurologi bahwa dalam struktur otak dan syaraf manusia ada tempat tersendiri yang unik dan permanen sebagai wilayah ekspresi spiritual, agama, dan Tuhan. Mereka bahkan menyebut wilayah ini sebagai “titik Tuhan” (God Spot), dan berkesimpulan bahwa memang ada mesin syaraf di dalam lobus temporal yang dirancang untuk berhubungan dengan agama dan “terpatri” (hard-wired) di dalam otak manusia.[13]

Jadi, kesadaran beragama sudah mendapat format khusus dalam sisi intrinsik individu dan bersifat universal yang semua manusia membutuhkannya.[14] Bahkan bagi Abraham Maslow, pengalaman keagamaan merupakan pengalaman puncak (peak experience), kedamaian dan kebahagiaan yang berlangsung terus menerus (plateau), dan sisi terdalam dari tabiat manusia (farthest reaches of human nature).[15] Menariknya, kata Maslow, pengalaman puncak dalam keagamaan (disebut juga pengalaman mistik) dilukiskan dengan kata-kata yang nyaris sama oleh setiap penganut agama, disetiap zaman dan di setiap peradaban.[16]

Islam dan para ilmuan Muslim juga mengemukakan pendapat yang nyaris seragam dengan menganggap anak telah memiliki potensi keberagamaan sejak lahir yang dikenal dengan istilah fitrah.[17]

Fitrah berasal dari kata fathara yang salah satu maknanya adalah penciptaan (al-khilqah), sedangkan secara linguistik bermakna sistem khusus penciptaan. Dengan demikian, fitrah manusia berarti sebuah sistem ciptaan khusus bagi manusia.[18]

Manusia dengan bentuk ciptaannya memiliki format khusus. Ia juga memiliki pengetahuan-pengetahuan serta kecenderungan-kecenderungan khusus yang muncul dari dalam wujudnya, bukan dari luar fisiknya. Dengan kata lain, manusia bukanlah kain putih nan polos dan tak bertulis sebelumnya (kosong dari segalanya). Akan tetapi, dalam lubuk hati setiap manusia sudah tersimpan sejumlah potensi-potensi khusus.

Kecenderungan dan berbagai potensi pengetahuan yang berada dalam diri manusia itu sebagiannya berhubungan dengan sifat hewani seperti makan dan seksualitas, dan sebagian lagi berhubungan dengan sifat kemanusiaannya. Fitrah Ilahi manusia hanya bertalian dengan kecenderungan manusiawi. Inilah yang menjadi faktor pembeda dan kelebihan manusia dari binatang. Oleh karena itu, siapapun yang kehilangan kecenderungan kemanusiaan yang ilahiah tersebut, ia tak ubahnya seperti hewan dalam bentuk manusia.

Kecenderungan ini adalah milik spesies manusia. Artinya, bukan terbatas pada segelintir orang saja atau khusus dimiliki kelompok masyarakat dalam masa tertentu. Melainkan dimiliki oleh semua manusia di setiap waktu dan tempat serta dalam kondisi bagaimanapun. Di sisi lain, kecenderungan ini juga potensial sifatnya. Ia dimiliki oleh setiap manusia, tetapi, tumbuh dan berkembangnya bergantung pada upaya dan usaha masing-masing individu manusia. Jika manusia mampu memelihara dan memupuk kecenderungan ini, ia akan menjadi makhluk terbaik, bahkan lebih baik dari para malaikat sekalipun, dan ia akan sampai pada kesempurnaannya. Sebaliknya, jika kecenderungan itu mati, secara otomatis kecenderungan hewani akan menguat dan unggul, orang semacam ini akan lebih rendah dari setiap binatang dan terjerembab ke dasar neraka yang paling dalam. Firman Allah swt, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Q.S. al-A’raf: 179)

Dengan demikian, secara sederhana, fitrah manusia dibagi kepada dua bagian:

  1. Fitrah akal (aqliah) yang merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tanpa dipelajari (badihiyât awwaliyah)
  2. Fitrah iman, kecenderungan dan keinginan untuk beribadah dan menyembah Tuhan.

Secara naqliyah, menurut al-Quran, mengenal dan menyembah Tuhan adalah hal yang fitri, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. al-Rum: 30).

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini senyatanya menunjukkan secara intrinsik dan instinktif seluruh manusia memiliki jiwa keberagamaan yang terpatri dalam dan tidak bisa hilang.[19] Maksud dari dîn dalam ayat ini bisa berarti sekumpulan ajaran-ajaran dan hukum-hukum pokok Islam, atau kondisi penyerahan diri dan tunduk secara total di hadapan Allah. Alhasil, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa mengenal Tuhan dan meyembahnya adalah hal yang bersifat fitri dan telah dibawa sejak lahir. Ringkasnya, manusia adalah makhluk religius. [20]

Rasulullah saw pernah bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang akan menjadikan ia sebagai yahudi atau nasrani.”[21]

Imam Ja’far Shadiq a.s. ketika ditanya tentang makna ayat 30 surat al-Rum di atas menjelaskan bahwa fitrah itu berarti tauhid, Islam, dan juga ma’rifah[22]. Imam Khumaini saat mengomentari perkataan Imam Ja’far Shadiq a.s. ini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah yang semua manusia tercipta dengannya adalah kondisi dan kualitas penciptaan manusia. Semua manusia, tanpa terkecuali, tercipta dalam pola fitrah itu sebagai konsekuensi logis dari keberadaannya. Fitrah ini telah berjalin kelindan dengan esensi wujudnya. Fitrah adalah salah satu rahmat Allah Swt. yang khusus dianugerahkan kepada manusia. Makhluk-makhluk selain manusia tidak memiliki fitrah semacam ini, atau mereka memilikinya dengan kadar yang lebih rendah daripadanya.[23]

Bahkan lebih jauh Imam Khomeini menyebutkan beberapa fitrah pemberian Allah yaitu, pertama, keyakinan kepada Wujud Awal segala sesuatu Yang Maha Agung dan Maha Tinggi; kedua, keyakinan akan keesaan-Nya; ketiga, keyakinan kepada wujud suci itu meliputi segala kesempurnaan; keempat, keyakinan pada hari kebangkitan; kelima, keyakinan fitri kepada kenabian; keenam, keyakinan kepada keberadaan malaikat-malaikat, ruh-ruh suci, penurunan kitab-kitab suci, dan pengumandangan jalan kebenaran. [24]

Selain ayat 30 surat al-Rum di atas, masih banyak ayat-ayat al-Quran yang mengarahkan dan menguatkan teori fitrah ini diantaranya surat al-A’raf: 172-173, al-Baqarah: 138, Yasin: 60-61, dan Luqman: 25.

Dalam ayat lainnya Allah berfirman, “Dan (ingatlah) Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat nanti kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’ (Q.S. al-A’raf: 172).

Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa sebelum manusia dilahirkan ke alam materi, mereka terlebih dahulu dikumpulkan di alam malakuti (alam gaib) untuk memberikan kesaksian atas keberadaan dan keesaan Allah swt. Kesaksian mereka menjadi mitsaq (perjanjian) yang mengikat sejak dari alam malakuti hingga alam akhirat nanti. Ini mengindikasikan bahwa setiap individu secara genetik telah cenderung berketuhanan. Para mufassir melihat ayat ini sebagai pengumpulan penting, yang meskipun berdimensi malakuti tetapi tetap memiliki pertanggungjawaban serius hingga ke hari kiamat kelak, yang mana manusia tidak dapat ingkar dan berpaling darinya dengan mengemukakan berbagai hujjah dan alasan, karena ia telah terikat dengan perjanjian terhadap dirinya sendiri dengan Tuhan secara langsung dalam suatu acara “tatap muka”, sehingga tidak memberi peluang bagi mereka untuk mengikuti politeisme dan jejak nenek moyang mereka yang salah kaprah, sebab pengetahuan intuitif ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya.[25] Bahkan kecenderungan terhadap ketuhanan (agama), bagi Sayid Baheshti, bersemayam kuat dalam setiap jiwa manusia baik secara sadar maupun tidak, sekalipun pada individu-individu yang mengaku ateis.[26]

Sayid Mujtaba Musawi Lari menyebutkan ada empat pembawan dasar manusia yang salah satunya adalah perasaan beragama (religious sense) disamping kebenaran (truth), kebaikan (goodness), dan keindahan (beauty).[27] Tentang perasaan beragama ini, Mujtaba Lari dengan sangat baik menguraikan bahwa fitrah merupakan prinsip yang tak bisa diubah dan dihilangkan, walaupun ia dapat ditekan dan disembunyikan. Bahkan pengutusan para Nabi ke dunia ini, tidak lain sebagai penopang luar yang memperkuat keberadaan fitrah manusia. Beliau menulis :

“Dakwah para Nabi didasarkan pada kecenderungan bawaan manusia kepada keesaan dan akhlak yang melekat secara alami. Prinsip-prinsip alamiah ini beserta rasio menjadi basis yang fundamental dalam penyelenggaraan pendidikan. Tugas utama para Nabi Allah, yang mereka sampaikan melalui misi dan pengajaran, adalah membangkitkan kekuatan-kekuatan bawaan yang tersembunyi di dalam fitrahnya. Pancaran cahaya fitrah dapat saja menjadi lemah pada kondisi-kondisi tertentu, pengaruh lingkungan, dan beragam faktor lainnya yang berhubungan dengan manusia, tetapi fitrah tersebut tidak akan pernah bisa dihilangkan. Fondasi-fondasi dari fitrah ini tetap akan terjamin kokoh dan stabil walaupun menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan dan rintangan-rintangan yang muncul dalam berbagai bentuk sepanjang sejarah. Akhirnya, penyimpangan-penyimpangan dari jalan fitrah tidak berhubungan dengan pembawaan dan realitas manusia.” [28]

Jika kita cermati penjelasan di atas, maka dengan jelas menunjukkan fitrah tersebut mengarah pada dimensi akidah (ketuhanan dan turunannya) yang umumnya bersifat gaib.

Dengan uraian-uraian di atas, fitrah dapat dikenali dengan beberapa ciri penting, yaitu :

  1. Fitrah merupakan pemberian Allah dan format penciptaan.
  2. Fitrah bersifat universal yakni terdapat pada setiap wujud manusia.
  3. Fitrah tidak dapat dilenyapkan (meskipun sering disembunyikan) dan akan senantiasa ada selama manusia hidup.
  4. Fitrah tidak diperoleh dari proses belajar, meskipun untuk memperkuat dan mengarahkannya proses pendidikan sangat diperlukan.

Perlu diketahui bahwa setiap manusia mempunyai ilmu hudhuri[29] (ilmu kehadiran) yang jelas dan gamblang dan menjadi dalil akal yang kokoh. Misalnya, setiap manusia tidak dapat menyangkal keberadaan dirinya sendiri, karena dia mengetahui secara langsung bahwa dirinya ada. Dengan ilmu hudhuri ini manusia memiliki dasar-dasar pengetahuan yang diantaranya dapat digunakan  untuk mengenal dan meyakini keberadaan Tuhan. Dari pengetahuan ini akan berkembang sedemikian banyak melalui pengetahuan yang bersifat hushuli[30] dalam memperjelas argumentasi keberadaan Tuhan.

Dengan demikian, fitrah mengenal Tuhan telah terdapat dalam diri manusia secara langsung yang menjadi model sekaligus modal khusus bagi dirinya. Terdapat ruang di dalam hati manusia untuk mengenal Tuhan secara sadar dan mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan menggunakan dalil-dalil akal yang argumentatif. Jika akal menemukan Tuhan dengan keteraturan dan pemikiran, maka rasa keberagamaan (religious sense) menemukan-Nya dengan cinta.[31] Intinya, keberagamaan adalah cetak biru yang telah tertanam kuat pada diri manusia, bukan hasil rekayasa budaya dan ilmu, seperti dikatakan Taqi Falsafi, ”Cahaya keimanan terus membara dalam kalbu umat manusia, karena sumber cahaya yang membara ini adalah fitrah manusia. Selama di muka bumi masih terdapat manusia, selama masih terdapat fitrah, niscaya cahaya tersebut tak akan pernah padam.”[32]

MAKNA USHULUDDIN

Agama terdiri dari keimanan dan pengamalan. Keimanan yang disebut dengan akidah merupakan unsur dasar yang menjadikan manusia mengamalkan agama, yang tanpanya seluruh tindakan praktis manusia tidak berdimensi ilahiah.

Karena nilai pentingnya tersebut, akidah atau keimanan dijadikan sebagai dasar agama yang semua prinsipnya menjadi landasan bagi pengamalan agama. Akidah inilah yang dalam terminologi teologi disebut dengan ushuluddin, sedangkan amal-amal praktis agama disebut cabang agama (furu’uddin).

Secara etimologi, ushuluddin berasal dari bahasa Arab yang digabungkan dari dua kata: ushul dan al-din. Ushul berarti dasar, fondasi, prinsip, atau pokok, sedangkan al-din berarti balasan, ketaatan, atau agama. Jadi ushuluddin sederhananya adalah dasar atau prinsip agama. Mahmud Syaltut menyatakan bahwa akidah merupakan segi teoritis yang pertama-tama dituntut dan mendahului segala sesuatu untuk dipercayai dengan keimanan yang tidak boleh dicampuri oleh syakwasangka dan tidak dipengaruhi oleh keraguan.[33]

METODE MENENTUKAN USHULUDDIN

Seperti telah dijelaskan, agama memiliki dua unsur penting yaitu seperangkat keyakinan (teoritis) dan seperangkat amalan (tindakan praktis). Secara urutan akal, keyakinan lebih dahulu sebelum lahirnya tindakan (amal) praktis manusia, meskipun, keduanya merupakan satu kesatuan yang saling dukung. Karena itu, penentuan keyakinan mendapatkan posisi pertama dan utama dalam struktur agama yang mesti dikaji, dibahas, dan ditemukan dengan sungguh-sungguh dengan seluruh perangkat potensi yang dimiliki manusia. Dan secara asumtif kita bisa menetapkan empat sumber dan sarana pengetahuan manusia, yaitu : a). Melalui indera; b). Melalui akal; c). Melalui hati (intuisi); dan d). Melalui wahyu.

Melalui analisis yang mendalam kita dapat menyimpulkan bahwa, satu-satunya jalan yang mungkin digunakan manusia untuk menentukan ushuluddin adalah melalui jalan rasional (akal). Hal ini karena ketiga jalan lainnya tidak akan menghasilkan analisis teoritis.[34]

Misalnya, melalui indera. Sumber dan alat inderawi sangatlah terbatas pada benda-benda fisik, sedangkan pada benda-benda non-material, ia tidak dapat memberikan kajian teoritis apapun. Bahkan, pada benda-benda material sekalipun, indera hanyalah berfungsi secara sekunder yaitu menangkap kesan untuk menghasilkan persepsi inderawi yang kemudian di kirim ke akal agar dapat menghasilkan serangkaian pengetahuan korespondensi. Jika kita cermati, ushuluddin bukan hanya berhubungan dengan benda-benda material, tetapi juga dengan wujud non-material, bahkan wujud non-material inilah yang menjadi fondasi terpenting ushuluddin. Selain itu, persoalan ushul al-din adalah persoalan teoritis yang bersifat abstrak, yang berhubungan dengan konsepsi (tashawwur) dan afirmasi/pembukltian (tashdiq), dan kedua hal ini merupakan kerja akal.

Begitu pula dengan jalan intuisi dan penyaksian (syuhudi), di mana jalan ini diperoleh dengan didahului seperangkat pengetahuan teoritis dan tindakan praktis agar tidak terjadi kekeliruan yang fatal. Seseorang harus meyakini terlebih dahulu keberadaan Tuhan, baru menyatakan ingin menyaksikannya. Bahkan seseorang harus beramal baik, baru Tuhan berkenan menemuinya. Dan cara beramal yang baik harus dirumuskan secara teoritis terlebih dahulu, baru bisa dilaksanakan secara praktis. Seperangkat pengetahuan teoritis itu tidak mungkin diperoleh melalui jalan intuisi, sebab intuisi hanyalah berurusan dengan penyingkapan (kasyaf) bukan dalam kajian teoritis. Selain itu, kehujjahan dalil kasyaf hanya dapat dijadikan hujah oleh pemilik dalil tersebut (subjektif), itupun setelah ditemukan adanya kesesuaian dalil tersebut dengan neraca al-Quran dan hadits, serta akal.

Adapun melalui jalan wahyu semakin tidak mungkin, sebab akan mengakibatkan posisi terbalik dalam menentukan ushuluddin. Hal ini karena, ushuluddin merupakan kajian teoritis awal untuk menghantarkan manusia pada keyakinan agama dan meletakkan fondasi serta kebenaran agama, sedangkan wahyu, jelas akan berlaku setelah adanya keyakinan manusia terhadap agama bahkan terhadap pembawa agama (nabi atau rasul). Artinya, sebelum meyakini sumber dan pembawa wahyu (Tuhan dan Nabi), maka kita tidak mungkin mengakui dan menggunakan wahyu. Muungkinkah orang yang tidak percaya kepada Tuhan dan Nabi, akan mempercayai bahwa al-Quran adalah wahyu?

Dengan demikian, maka terbuktilah bahwa akal menjadi jalan utama dan pertama dalam metode keyakinan, membentuk dan menentukan ushuluddin. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hukum akal, diantaranya:

  1. Hukum tanaqudh, yaitu “mustahilnya bergabung dua hal yang kontradiksi/bertentangan”, yaitu jika ada dua hal yang bertentangan maka salah satunya pasti benar sedangkan yang lainnya salah, dan tidak mungkin keduanya benar atau keduanya salah. Misalnya, tidak mungkin sesuatu itu ada sekaligus tidak ada pada saat yang bersamaan.
  2. Hukum “mustahilnya tasalsul”, yaitu ‘Ketergantungan sesuatu kepada sesuatu yang lain, dimana sesuatu yang lainnya itu juga tergantung pada selain dirinya, begitu seterusnya secara tidak terbatas’. Misalnya, A disebabkan oleh B, B disebabkan oleg C, C disebabkan oleh D, dan begitu seterusnya hingga tidak ada akhirnya. Ini berarti tidak ada yang mengawali keberadaan, jika demikian darimana keberadaan itu datang? Jadi, tasalsul akan menghasilkan ketiadaan.
  3. Hukum ‘mustahilnya daur (pemikiran berputar)’, yaitu ‘Ketergantungan adanya sesuatu kepada sesuatu yang lain yang dalam keberadaannya tergantung pada yang pertama.’ Misalnya, A disebabkan oleh B, dan B disebabkan oleh C, dan C disebabkan pula oleh A. Ini berarti semuanya saling membutuhkan dan menghasilkan ketiadaan.

JENIS-JENIS USHULUDDIN

Keimanan atau keyakinan itu sendiri pada dasarnya dapat dibagi kepada dua hal, yaitu ushuluddin dan furu’uddin. Ushuluddin merupakan landasan utama dalam bangunan keyakinan teoritis agama, sedangkan furu’uddin merupakan keyakinan cabang yang terbentuk atau telah inklud di dalam ushuluddin. Artinya, ushuluddin merupakan prinsip yang mesti ada dalam agama dan tanpanya, agama akan kehilangan fungsinya. Misalnya, percaya adanya Tuhan merupakan ushul al-din dan dari keyakinan ini dihasilkan kepercayaan lainnya seperti Esa-Nya Tuhan, sifat-sifat Tuhan, karakteritik Tuhan, dan sebagainya, yang merupakan keyakinan parsial atau cabang keyakinan (furu al-din) yang bersifat teoritis.

Dengan analisis yang cermat, ditetapkanlah tiga ushuluddin yang lintas agama, artinya harus dimiliki oleh struktur agama apapun, yaitu : Ketuhanan, Kenabian, dan Kebangkitan (Hari Akhir).  Adapun dalam Islam, maka ushuluddin biasanya akan terbagi sesuai dengan mazhab-mazhab yang diikuti (ushul al-mazhab). Dalam mazhab sunni, misalnya, rukun iman disebutkan ada enam macam yaitu : Iman Kepada Allah, Malaikat, Nabi dan Rasul, Kitab-Kitab, Hari Akhir, serta Qada dan Qadar. Adapun dalam syiah, ada lima macam ushuluddin yakni : Tauhid, Keadilan (al-adl), Kenabian (an-Nubuah), kepemimpinan (al-imamah), dan Kebangkitan (al-Maad). Insya Allah kita akan mengulas semua keyakinan tersebut sesuai kebutuhan dan konteks yang memungkinkan untuk pengajaran dasar-dasar agama.


[1] M.T. Misbah Yazdi. Iman Semesta. (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 1.

[2] Jalaluddin dan Ramayulis. Pengantar Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), h. 32.

[3] Nico Syukur Dister. Pengalaman dan Motivasi Beragama (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 74.

[4] Nico Syukur Dister. Pengalaman, h. 74.

[5] Nico Syukur Dister. Psikologi Agama. (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 10-11.

[6] Robert W. Crapps. Dialog Psikologi dan Agama. (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 66.

[7] Nico Syukur Dister. Pengalaman, h. 76.

[8] Sigmund Freud. Psikoanalisis Sigmund Freud. (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002) h. 219-220 dan 361-368. Lihat juga analisi pemikiran Frued ini oleh Eric From. Psychoanalysis and Reliigion. (New Haven& London: Yale University Press, 1950); Calvin S. Hall. A Primer of Fruedian Psychology. (New York: A Mentor Books, 1957).

[9] Emile Durkheim. Sejarah Agama. (Yogyakarta: Ircisod, 2003), h. 29-30.

[10] Sayid Mujtaba Musawi Lari. Knowing God. (Qum: Foundation of Islamic Cultur Propagation in the World, 2006), h. 21.

[11] Sayid Mujtaba Musawi Lari. Knowing, h. 21.

[12] Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. (Bandung: Mizan, 2003), h. 205.

[13] Tentang berbagai penelitian masalah SQ ini banyak diungkapkan oleh Danah Zohar dan Ian Marsahal. Salah satunya adalah peneltian Michael Pessinger seorang neuro-psikolog asal Kanada pada awal 1990-an. Dalam Laboratoriumnya di Laurentian, Pessinger menghubungkan kepalanya dengan stimulator magnet transcranial, suatu piranti yang mengeluarkan medan magnetic kuat dan berubah-ubah dengan cepat di area kecil jaringan otak. Dalam percobaan ini, Pessinger merancang piranti tersebut untuk merangsang jaringan di lobus temporal, bagian otak yang berada tepat di bawah pelipis, dan saat itu dia melihat “Tuhan”. Peneliti lain V.S. Ramachandran pada 1997 dan koleganya lebih dalam melanjutkan studi Pessinger tentang lobus temporal dan mengaitkannya dengan pengalaman spiritual. Elektroda-elektroda EEG (electroencephalograph) dihubungkan dengan pelipis dan ketika diberi nasihat religius atau spiritual yang menyentuh, aktivitas lobus temporal mereka meningkat. Lihat Danah Zohar dan Ian Marshal, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan (Bandung: Mizan, 2000), h.80-83.

[14] Erich Fromm. Psychoanalysis and Religion. (New Haven: Yale University Press, 1976), h. 25.

[15] Jalaluddin Rakhmat. SQ: Psikologi dan Agama, kata Pengantar dalam Danah Zohar dan Ian Marshal, SQ, h. xxvi.

[16] Frank G. Goble. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow. (Yogyakarta: kanisius, 1994), h. 101.

[17] Lihat misalnya Quraish Shihab. Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), h. 210; Murtadha Muthahhari. Fitrah. (Jakarta: Lentera, 1998); dan juga Murtadha Muthahhari. Perspektif al-Quran Tentang Manusia dan Agama. (Bandung: Mizan, 1998).

[18] Murtadha Muthahhari. Fitrah, h. 8.

[19] Lihat misalnya, Allamah Sayid Muhammad Husain Thabthabai, al-Mizan fi Tafsir al-Quran Jilid 16. (Beirut: Muassasah al-a’lami, 1991M/1413 H), h. 182-186; Syeikh Nashir Makarim Syirazi. al-Amtsal fi Tafsir Kitabillah al-Munzil Jilid 12. (Beirut: Muassasah al-Bi’sah, 1992 M/1413 H), h. 471-473.

[20] Mulla Sadra dalam bukunya al-Mabda wa al-Maad menulis: “pemahaman tentang Allah (Sang Maha Pemberi) itu adlah seuatu fitrah yang dibawa sejak lahir, karena ketika manusia itu lahir dan ia harus menghadapi suatu yang menakutkan dan menyulitkan dirinya, maka ia secara naluriah akan bersandar kepada sesuatu yang Maha Pemberi pertolongan dan secara otomatis ia akan berpaling kepada-Nya” Dengan nada yang hampir sama Sayid Husayni Baheshti menegaskan bahwa setiap manusia telah dibekali fitrah sejak lahir yang menyiratkan akan keesaan Allah dan pernyataan tak tertulis agar manusia sadar bahwa politeisme itu tidak mempunyai dasar sama sekali kecuali bagi orang-orang yang bodoh dan dungu.  Lihat Sayyid Muhammad Husayni Baheshti. Selangkah Menuju Allah: Penjelasan Al-Quran Tentang Tuhan. (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), h. 52.

[21] Allamah al-Majlisi, Bihar al-Anwar juz 3. (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-Arabi, 1992), h. 178.

[22] .Lihat Al-Kulaini, Al-Kafi Jilid 2, h. 12-13 Pada Bab Fitrat al-Khalq ‘ala al-Tauhid menyebutkan empat hadis tentang makna fitrah yang ada pada ayat 30 surat al-Rum; Allamah al-Majlisi, Bihar al-Anwar juz 3. (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-Arabi, 1992), h. 175-178.

[23] Imam Khomeini. 40 Hadis: Telaah Atas Hadis-Hadis Mistis dan Akhlak. (Bandung: Mizan, 2004), h. 207.

[24] Imam Khomeini, 40 Hadis, h. 210.

[25] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi. Filsafat Tauhid: Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman. (Bandung: Mizan, 2003), h. 45-47. Penjelaan panjang lebar ayat ini dapat dilihat dalam Allamah Thabathabai. al-Mizan jilid 8, h. 311-330; Syeikh Nashir Makarim Syirazi, al-Amtsal jilid 5, h. 262-267  ; Fakhr al-Razi, Tafsir al-Kabir jilid 15, h. 40-49; Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran jilid 3, h. 670.

[26] Muhammad Husayni Baheshti. Selangkah, h. 62.

[27] Sayid Mujtaba Musawi Lari, Knowing, h. 20. Lihat juga Sayid Mujtaba Musawi Lari. Ushul al-Aqaid fi al-Islam Juz I. (Qum: Foundation of Islamic C.P.W, 1424 H), h. 28-29.

[28] Sayid Mujtaba Musawi Lari. Ethics and Spiritual Growth. (Qum: Foundation of Islamic C.P.W, 2005), h. 36.

[29] Ilmu hudhuri adalah ilmu kehadiran yaitu hadirnya secara langsung objek yang diketahui pada diri subjek yang mengetahui. Misalnya, pengetahuan kita tentang diri kita sendiri.  Penjelasan lebih detail tentang hal ini dapat dilihat pada pembahasan epistemology (diktat epistemology).

[30] Ilmu hushuli adalah ilmu perolehan yaitu hadirnya gambaran objek yang diketahui pada diri subjek yang mengetahui. Misalnya, pengetahuan kita tentang berbagai benda-benda di alam  ini. Penjelasan lebih detail tentang hal ini dapat dilihat pada pembahasan epistemology (diktat epistemology).

[31] Sayid Mujtaba Musawi Lari. Knowing, h. 21.

[32] Muhammad Taqi Falsafi. Anak Antara Kekuatan Gen dan Pendidikan. (Bogor: Cahaya, 2003), h. 254.

[33] Mahmud Syaltut. Islam Akidah dan Syariah. (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), h. 4.

[34] Lihat pembahasannya dalam M.T. Misbah Yazdi. Iman,h. 24-27.