ADAKAH MASA DEPAN PENDIDIKAN KITA


Oleh : Candiki Repantu

Sudah menjadi keputusan yang disepakati secara umum bahwa pendidikan merupakan sektor vital bagi kehidupan manusia, tetapi pelanggaran terhadap kesepakatan ini tak dapat dikatakan jarang. Mulai dari tidak diberinya kesempatan untuk berpendidikan karena biaya mahal sampai kriminalitas dalam dunia pendidikan. Ini bukan hanya melanda dunia pendidikan secara umum, tetapi juga pendidikan agama (Islam).

Ironisnya, sekarang ini, pendidikan diperalat menjadi sarana mobilisasi sosial-politik-ekonomi. Dominasi sikap yang seperti ini dalam dunia pendidikan telah melahirkan patologi psiko-sosial, terutama dikalangan peserta didik dan orang tua, yang terkenal dengan sebutan “penyakit gelar”, yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan melainkan karena nilai-nilai ekonomi, politik dan sosial. Maka wajar berkembang ijazah palsu dan lembaga-lembaga pendidikan yang tidak bertanggung jawab atau bahkan para sarjana yang tidak mengetahui ilmu apa yang dimilikinya kecuali kebanggaan atas gelar yang diperolehnya. Gelar telah menjadi “jimat keramat” dalam menghadapi kehidupan. Orientasi ilmu yang mengedepankan kualitas kemanusiaan telah bergeser menjadi orientasi nilai keuangan.

Budaya praktis dan pragmatis, serta instan telah melahirkan manusia yang suka mencari “jimat gelar” untuk memperbaiki kehidupan material, intelektual dan spiritualnya. “Jimat” itu setidaknya dapat dipampangkan di depan (atau di belakang) namanya dengan keyakinan akan mampu memberikannya kehidupan lebih baik, tanpa harus bersusah payah berpikir inovatif dan bertindak kreatif melakukan analisa kritis fenomena kehidupan yang sedang dihadapi. Ini setidaknya tergambar dari ungkapan Imam Ja’far Shadiq, ‘betapa banyak orang yang membawa fiqih tetapi dia tidak faqih,’ atau ejekan al-Quarn dengan menyebut “bagai keledai yg membawa kitab2”.

Begitu pula pendidikan agama (Islam). Sistem pendidikan agama yang masih dikotomis mulai dari lembaga, kenseptualisasi ilmu, kurikulum, pendidik dan peserta didik, serta faktor lainnya menjadikan pendidikan agama tak mampu bersanding apalagi bertanding—walaupun bukan ini yang kita harapkan. Misalnya, adanya pembagian ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu non agama. Ini berakibat pada bias tentang orang yang menuntut/mencari ilmu. Ulama yang fasih membaca kitab kuning untuk menemukan keinginan Tuhan dipandang lebih agamis dan tinggi kedudukannya daripada ilmuan yang cermat membaca alam semesta untuk menemukan jejak ilahi. Dari sini, ilmu ‘naqliyah’ lebih dikedepankan dan mendapat tempat terhormat daripada ilmu-ilmu ‘aqliyah’ yang mendapat tempat di pinggiran. Kita lebih mengenal al-Ghazali dengan kitab Ihya ulumuddin ketimbang tahafut al-falasifah atau misykat al-Anwar. Bahkan Ibnu Rusyd lebih kita kenal sebagai faqih dengan kitab bidayatul mujtahid ketimbang tahafut al-tahafut atau fashl maqal yang ditulisnya.

Ini berimbas lagi pada dimensi praktisnya, yang mana kita memandang lebih berpahala mendirikan mesjid daripada laboratorium atau pusat-pusat penelitian, lebih afdhal menahan kantuk malam untuk tahajjud daripada menahan kantuk di laboratorium, mahasiswa yang rajin ke mesjid lebih mulia daripada yang rajin mendatangi pusat penelitian, padahal suatu penyelidikan biasanya untuk kebaikan umat sejagad sedangkan ibadah ritual seringkali hanya untuk kebaikan pribadi. Sewajarnya kita menghargai keduanya yang barangkali memiliki kelebihan disamping kelemahan-kelemahannya. Semua ini meyadarkan kita akan pentingnya aktualisasi pendidikan Islam untuk menciptakan masyarakat berperadaban…. wallahu a’lam

Diskusi mingguan Forum Para-Mujaddida di Yayasan Islam Abu Thalib
Para pemikir muda lagi berdebat dgn pemikiran2 yg mencerahkan….