TAKDIR ILAHI


MAKNA TAKDIR

Takdir berasal dari kata qadr yang berarti ukuran (miqdar), sedangkan qadha berarti ketetapan atau menuntaskan dan memutuskan sesuatu.[1] Namun dalam terminologI tauhid qadar atau takdir ilahi yang dimaksud adalah bahwa Allah swt telah menciptakan segala sesuatu serta telah menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu yang terealisasi dalam rangkaian sebab-sebab. Adapun Qadha ilahi adalah menyampaikan sesuatu kepada tahap kepastian wujudnya setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sesuatu itu. Berdasarkan pemaknaan ini, maka tahap qadar labih dahulu dari tahap qadha.[2]

Ini berarti, takdir merupakan salah satu tahapan pendahuluan bagi terealisasinya suatu perbuatan atau kejadian. Tahapan-tahapan lainnya adalah pengetahuan, kehendak, keinginan, izin, kitab, terma, ketuhanan, dan ketetapan.

Takdir terjadi dengan tahapan gradual dan syarat-syarat yang jauh, tengah, maupun dekat. Sehingga takdir dapat mengalami perubahan dengan berubahnya sebagian sebab dan syaratnya. Itulah mengapa orang sering menyatakan ada takdir yang pasti dan ada takdir yang tergantung atau tidak pasti.[3] Adapun tahap qadha bersifat seketika (daf’i) pasti serta tidak akan mengalami perubahan.[4]

Jadi kejadian-kejadian alam, ditinjau dari sudut keberadaannya di bawah pengawasan dan kehendak Allah yang pasti, dapat dikelompokkan ke dalam qadha ilahi, dan dari sudut sifatnya yang terbatas pada ukuran dan kadar tertentu serta pada kedudukannya dalam ruang dan waktu, dapat dikelompokkan ke dalam qadar Ilahi.

JENIS-JENIS TAKDIR

Qadha dan qadar masing-masing dibagi pada dua jenis, yaitu ilmi dan aini. Kedua jenis ini dapat djelaskan sebagai berikut :

Qadar  terbagi pada dua jenis, yaitu : Qadar ilmi dan Qadar aini. Qadar ilmi adalah penentuan segala sesuatu dengan rinciannya dalam ilmu azali Allah swt sebelum diciptakan. Sedangkan Qadar aini adalah ciri-ciri khas yang diperoleh oleh sesuatu dari sebab-sebabnya ketika ia menjadi ada secara nyata dan real.

Qadha juga terbagi pada dua jenis yaitu : Qadha ilmi dan Qadha aini. Qadha ilmi adalah pengetahuan Allah swt tentang keharusan (keniscayaan) adanya segala sesuatu dan pengadaannya (pelaksanaan terciptanya, ibram) ketika seluruh syarat dan sebab keberadaannya telah terkumpul dan kendala-kendalanya lenyap. Sedngkan Qadha aini adalah kemestian objektif real adanya sesuatu ketika sebab sempurnanya (al-illah at-tammah) telah lengkap dan penghalangnya telah lenyap.[5]

MAKNA IZIN TUHAN

Izin memiliki dua penjelmaan yaitu takwini (genetic) dan tasyri’I (legislative). Izin takwini menyatakan bahwa semua yang terjadi di alam realitas ini berdasarkan dengan izin umum Allah swt. Tanpa izin itu, tidak ada sesuatu pun yang akan dapat terjadi. Contohnya firman Allah, “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizing Allah swt” (Q.S. al-A’raf: 58); “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah swt” (Q.S. Ali Imran: 145) Sedangkan izin tasyrii adalah konsep hukum, undang-undang, yang sifatnya relative (bukan paksaan) dalam melakukan sesuatu mesti menurut aturan tersebut. Misalnya dalam firman, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah” (Q.S. an-Nisa: 64); “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya” (Q.S. al-Hajj: 39).

Jadi, izin takwini (genetic) menunjukkan akan izin umum yang tanpanya tidak terlaksana peristiwa apapun di alam ini, sedangkan izin legislative menunjukkan akan hukum-hukum yang dipatuhi untuk terlaksananya perbuatan yang mendapatkan ridho Allah swt. Akan tetapi, tidak ada paksaan untuk mengikuti izin tersebut sehingga dapat dilanggar oleh manusia.[6]

TAKDIR DAN KEBEBASAN MANUSIA

Takdir berhubungan erat dengan kebebasan manusia yang bertanggung jawab atas kehendak dan perbuatannya (free will). Akan tetapi, kebebasan dan kemampuan kita untuk mengerjakan sesuatu tetap bersumber dari Allah swt. Jadi, manusia hidup di bawah kendali takdir Tuhan, yang sekaligus  menakdirkan manusia untuk bebas memilih takdirnya sendiri. Artinya, kebebasan manusia untuk berikhtiar merupakan takdir Tuhan itu sendiri.

Memang tidak ada yang menentukan dalam wujud alam semesta ini, kecuali Allah. Kesempurnaan sebab-sebab dan lantaran-lantaran merupakan realisasi takdir ilahi (qadha dan qadar). Makin beraneka ragamnya sebab-sebab serta kejadian-kejadian yang dapat berlangsung pada peristiwa apa pun, maka makin beraneka ragam pula jenis qadha dan qadar berkenaan dengan kejadian-kejadian tersebut. Keadaan apa saja yang telah terjadi, maka hal itu pasti terjadi oleh sebab qadha dan qadar ilahi; dan keadaan apa saja yang telah tidak terjadi, itu juga disebabkan oleh qadha dan qadar ilahi pula. [7] Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita (determinis). Sama sekali tidak. Kita justru bebas memilih dan mengambil keputusan. [8]

Manusia sesungguhnya diciptakan sebagai makhluk yang bebas dan berikhtiar dalam arti bahwa ia diberi pikiran (akal) dan kehendak. Manusia, selalu mendapati dirinya berada dipersimpangan jalan, agar ia memilih salah satu yang dikehendakinya di antara jalan-jalan itu dengan sepenuh kemerdekaan dan sesuai dengan kehendaknya serta pemikirannya. Yang menentukan salah satu dari jalan-jalan itu adalah cara berpikirnya dan kebebasan memilihnya.[9] Untuk itu, ada syarat-syarat perbuatan sukarela yang diantaranya adalah 1). harus hidup, karena orang yang mati tidak dapat melakukan perbuatan sukarela apa pun. 2) Pemahaman, pengetahuan, dan perhatian ketika ingin melakukan perbuatan sukarela.[10]

Perbuatan dan tindakan manusia termasuk dalam kejadian-kejadian yang atasnya tidak terdapat qadha dan qadar yang deterministis, sebab ia bertautan dengan beribu-ribu sebab dan lantaran, termasuk di dalamnya berbagai macam kemauan dan pilihan yang dimiliki dan dialami manusia. Lebih-lebih lagi, manusia telah diberikan akal, perasaan, kehendak, kemauan moril serta kekuatan untuk memilih (ikhtiar). Karena itu, manusia memiliki kemampuan untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kendati perbuatan itu sesuai dengan naluri alamiah dan dorongan biologisnya serta tidak ada pencegah atau hambatan eksternalnya. Akan tetapi, ia meninggalkannya setelah berpikir dan memperbandingkan besar kecilnya kemaslahatan dalam persoalan tersebut. Sebagaimana ia juga memiliki kemampuan melaksanakan suatu pekerjaan yang ia ketahui berlawanan sepenuhnya dengan wataknya atau kecenderungannya sendiri, serta tak adanya faktor yang memaksanya untuk itu. Sebab ia berpikir dan melihat adanya kemaslahatan dalam hal itu.  Dengan demikian, seandainya telah terkumpul dihadapannya semua faktor untuk terjadinya sebuah perbuatan, seorang manusia masih tetap memiliki akal dan kehendak, yang dengannya ia dapat melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya. Jadi, terlaksananya perbuatan itu bergantung pada persetujuan akal sebagai kekuasaan legislatif tertinggi, serta kehendak sebagai kekuatan eksekutif, sehingga manusia dapat mempengeruhi takdirnya sebagai pelaku yang dapat memilih.[11]

Namun perlu diperhatikan bahwa alam semesta diatur dengan sistem kausalitas (sebab-akibat), karenanya, kebebasan manusia tidak dapat diartikan keluar dari garis hukum kausalitas, melainkan berkisar pada tatanan hukum tersebut. Hukum kausalitas menegaskan bahwa setiap peristiwa yang terjadi pasti memiliki sebab-sebab dan kondisi-kondisi penyiap bagi terwujudnya akibat. Hukum sebab-akibat dan kondisi-kondisinya ini berada di luar jangkauan manusia. Karenanya, manusia dikepung oleh berbagai dimensi dan syarat-syarat yang tidak di bawah kendali dirinya (nonsukarela). Dengan demikian, tidak ada keberatan tentang qadha dan qadar sebagai makna pelbagai sebab dan kondisi yang diperlukan untuk segala sesuatu, yang semuanya disediakan oleh Allah swt. Adalah cukup bagi suatu perbuatan untuk menjadi sukarela (bebas) jika memperoleh bagian terakhir dari ‘penyebab lengkap’ di bawah pilihan kita, disamping jutaan ‘penyebab’ lainnya yang berada di luar kendali kita.[12]

Oleh karena itu, kebebasan manusia berarti bahwa perbuatan seseorang timbul dari dirinya sendiri, dengan sepenuh kemauan (kehendak) dan kerelaannya, serta dengan konsentrasi kekuatan pencerapannya; dan bahwa tiada faktor apa pun yang memaksanya melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya, baik faktor qadha dan qadar ataupun lainnya.

Tuhan memang yang telah menghendaki kita bebas dalam perbuatan-perbuatan kita, karena Dia ingin menguji dan memba­wa kita ke jalan kesempurnaan. Sebab manusia tidak akan men­capai kesempurnaan dengan keterpaksaan (jabr) melainkan dengan kebebasan berkehendak (free will) dan mengikuti jalan kebenaran melalui pilihannya sendiri (ikhtiyar), karena perbuatan yang dipaksakan dan di luar kemauan sese­orang tidak memiliki nilai baik atau buruk. Apakah nilai baik bagi seseorang yang tidak mencuri karena ia berada dalam penjara? Atau apakah nilai buruk bagi seseorang yang mencuri karena dipaksa mencuri?

Jika kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita, maka tidak ada artinya pengutusan para nabi, diturunnya kitab-kitab, ajaran agama, pengajaran, pendidikan, dan sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya pahala dan dosa, surga dan neraka.

AMRUM BAINA AMRAINI

Amrun baina amraini secara bahasa berarti satu perkara diantara dua perkara. Konsep ini diambil dari pernyataan para Imam Ahlul Bait, yang sering menyebutkan, “kita bukan pengikut jabr dan bukan pula tafwidh, melainkan satu perkara di antara dua perkara” (la jabr wa la tafwid, walakin amr baina amraini). Hal ini merupakan teori yang dikonsepsikan untuk menyelesaikan pertentangan antara konsep jabr (keterpaksaan) dan konsep tafwidh (kebebasan mutlak), yang pada dasarnya menegaskan bahwa dalam persoalan perbuatan manusia bukanlah pandangan jabariyah dan bukan pula qadariyah, tetapi pertengahan antara keduanya.

Jelasnya, konsep ini menyatakan bahwa dari satu sisi manusia memiliki kebebasan, namun dari sisi yang lain manusia memiliki keterikatan. Kebebasan penting untuk menetapkan benarnya perintah dan larangan (taklif) serta hukum dan ganjaran. Karena, tanpa adanya kebebasan, maka taklif atau tanggung jawab keagamaan tidak dapat diberlakukan, begitu juga dengan hukum dan ganjaran. Memberlakukan semua itu, tanpa kebebasan adalah bentuk ketidakadilan. Misalnya, jika manusia ditentukan menjadi kafir maka suatu kezaliman jika manusia tersebut dihukum, karena kekafiran itu bukanlah kehendak dan perilakunya.

Sebaliknya, keterikatan juga mesti diyakini sebagai pengakuan akan keesaan dan kekuasaan Allah swt yang tidak terbatas. Jika meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak dan mandiri, maka ini berarti kemusyrikan yang nyata. Akan tetapi, seperti dijelaskan di atas, keterikatan ini tidaklah menyebabkan hilangnya kebebasan manusia, karena pada dimensi akhir keluarnya tindakan itu bergantung pada diri manusia tersebut. Artinya, Allah swt sebagai wujud tertinggi dan tidak terbatas, pencipta segala sesuatu, dan tidak ada peristiwa yang terjadi diluar kehendak serta izin-Nya, maka kehendak dan kebebasan manusia itu pun merupakan pemberian Allah swt. Allah dengan kekuasaanya yang memberikan kekuatan dan seluruh potensi kepada manusia, namun, dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya, Allah menganugerahkan kebebasan (ikhtiyar) manusia untuk mengaktualisasikan kekuatan dan potensinya tersebut dalam tindakan dan tingkah laku yang bernilai baik atau buruk.

Jadi, Manusia sesungguhnya diciptakan sebagai makhluk yang bebas dan berikhtiar, dalam arti bahwa ia diberi pikiran dan kehendak. Manusia selalu mendapati dirinya berada pada dua posisi, dan ia dengan kehendak dan pemikirannya akan memilih salah satu dari dua posisi tersebut dengan penuh ikhtiarnya. la tidak majbur (terpaksa) untuk diarahkan pada salah satu saja dari dua psosi itu. Yang menentukan salah satu dari jalan-jalan itu adalah cara berpikimya dan kebebasan memilihnya.

Inilah yang diajarkan madrasah Ahlubait bahwa tidak jabr (mutlak terpaksa) dan ridak pula tafwidh (mutlak bebas), tapi di antara keduanya (amrun baina amraini). Imam Ja’far Shadiq bersabda : Sesungguhnya tidaklah jabr (terpaksa) dan tidak pula tafwidh (bebas), akan tetapi di antara keduanya.”[13]


[1] Perhatikan ayat berikut : “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan menetapkan ukuran-ukurannya.” (Q.S. al-Furqan: 2); “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Q.S. al-Qamar: 49).

[2] Lihat M.T. Misbah Yazdi. Iman Semesta. (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 141.

[3] Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah akan menghapus apa-apa yang Ia kehendaki dan juga menetapkannya. Di sinilah terdapat ummul Kitab.” (Q.S. al-Ra’d: 39).

[4] Allah berfirman : “Apabila Allah menetapkan suatu perkara, Ia akan mengatakan, ‘jadilah’, maka terjadilah.” (Q.S. Ali Imran: 47).

[5] Lihat Misbah Yazdi. Iman, h. 142-143.

[6] Misbah Yazdi. Filsafat, h. 261-262.

[7] Murtadha Muthahhari. Manusia, h. 39.

[8] Allah berfirman : “Sesungguhnrya Kami telah memberikan petunjuk kepada manusia. Ada yang bersyukur dan ada pula yang ingkar.” (QS. 76:3); “Sesungguhnya munusia tidak mendapatkan apa-apa kecuali apa yang telah diusahakannya”. (QS. 53:39).

[9] Murtadha Muthahhari. Manusia dan Takdirnya. (Bandung: Muthahhari Pres, 2002), h. 26.

[10] Misbah Yazdi. Filsafat, h. 283-284.

[11] Lihat Murtadha Muthahhari. Manusia, h. 38.

[12] Misbah Yazdi. Filsafat, h. 284-285.

[13] Ushul al-Kafi Jilid I, h. 160.